Kursor

Rabu, 31 Juli 2013

dosa besar dan taubat

Berzina Adalah Dosa Besar Apakah Dapat Terampuni?

Pertanyaan Pa Ustaz apakah seseorang yang telah melakukan dosa terbesar seperti berzina dapat diampuni oleh ALLAH. Lalu bagaimana cara ritual yang bisa dilakukan dan menjauhkan perasaan hati agar tidak selalu terbawa oleh perasaan ketakutan sehingga dapat berjalan hidup secara normal. Apakah ALLAh akan mengampuni dosa seperti itu pa Ustaz. Terimakasih pa ustaz semoga amal ibadah kita selalu diterima oleh ALLAH SWT


saputra Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada dosa yang tidak bisa diampuni. Karena semua anak Adam pasti melakuan kesalahan, khilaf, lalai, lupa atau tertipu syetan. Maka Allah SWT selalu membuka pintu ampunan selebar-lebarnya, agar tidak ada lagi anak Adam yang mati tanpa mendapatkan ampunan.
Bahkan dosa syirik sekalipun bisa diampuni, asalkan minta ampun itu dilakukan sejak masih hidup di dunia. Dosa syirik yang tidak dapat diampuni adalah bila minta ampunnya setelah wafat atau di hari akhir.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa': 48)
Sedangkan dosa selain syirik termasuk dosa zina, bisa diampuni, baik di dunia ini maupun di akhirat. Ampunan di dunia cukup dengan meminta ampun. Syarat adalah segera berhenti dari zina, penyesalan yang mendalam di dalam hati serta sumpah tidak akan pernah mengulangi lagi. Itu syarat utama.
Kemudian, bila orang yang pernah berzina itu kebetulan hidup di dalam negeri yang menerapkan syariat Islam, syarat tambahannya adalah dia harus mengakui perbuatan zinanya di hadapan hakim dan siap menerima hukuman, baik cambuk 100 kali maupun rajam.
Hukuman cambuk 100 kali untuk mereka yang belum pernah melakukan hubungan seksualhalal sebelumnya, sedangkan hukuman rajam (dilepmari batu hingga mati) buat mereka yang sudah pernah melakukan hubungan seksual halal sebelumnya. Keduanya berlaku sama baik laki-laki atau perempuan.
Namun bila dia kebetulan tinggal di negeri yang tidak menerapkan hukum Islam, maka tidak ada keharusan untuk menjalankan hukuman rajam atau cambuk sendirian atau secara swasta. Sebab pelaksanaan hukuman itu merupakan kewajiban pemerintahan yang sah. Yayasan, pengajian, ormas, orsospol, atau lembaga swasta lainnya tidak punya wewenang untuk menjalankan hukuman itu. Apalagi individu partikelir, jelas lebih tidak relevan lagi.
Lalu apakah orang yang pernah berzina lalu bertaubat bisa masuk surga?
Jawabnya bisa!!. Asalkan bertaubat dengan taubat yang benar, serta rela menjalani hukuman yang berlaku. Dan hal itu sudah terbukti dan pernah terjadi sungguhnan di masa Rasulullah SAW.
Adalah seorang wanita dari dari Juhainah datang kepada nabi SAW dalam keadaan hamil dan mengaku berzina. Dia sudah taubat dari dosanya dan minta dirajam. Setelah dirajam, jenazahnya dishalati oleh Rasulullah SAW. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab ra bertanya, "Apakah Anda wahai nabiyallah menshalatinya padahal dia pernah berzina?" Beliau pun menjawab:
Sesungguhnya dia telah bertaubat dengan kualitas taubat yang bila dibagikan kepada 70 orang penduduk Madinah, telah mencukupi. (HR Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

sholat tahajud



Tahajud :  
  USHALLIISUNNATATTAHAJJUDI RAK'ATAINI LILLAAHI TA'AALAA.

Do’a : ALLAAHUMMA LAKAL HAMDU ANTA QAYYIMUS SAMAA WAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA MALIKUS SAMAA WAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA NUURUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTAL HAQQU, WA WA'DUKAL HAQQU, WA LIQAA'UKA HAQQUN, WA QAULUKA HAQQUN, WAL JANNATU HAQQUN, WANNAARU HAQQUN, WANNABIYYUUNA HAQQUN, WA MUHAMMADUN SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAMA HAQQUN WASSAA'ATU HAQQUN. ALLAAHUMMA LAKA ASLAMTU, WA BIKA AAMANTU, WA 'ALAIKA TAWAKKALTU, WA ILAIKA ANABTU, WA BIKA KHAASHAMTU, WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGHFIRLII MAA QADDAMTU, WA MAA AKH-KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA A'LANTU, WA MAA ANTA A'LAMU BIHIMINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA ANTAL MU'AKHKHIRU, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAR

Sabtu, 27 Juli 2013

Shalat Witir Dengan Qunut

Shalat witir yang dikerjakan oleh kita di bulan Ramadhan ini, ternyata punya keunikan tersendiri, yakni ada sebagian muslim yang menjalankannya dengan qunut dan ada pula yang tidak memakai qunut. Perbedaan ini tentu sudah biasa dalam fiqih dan tidak perlu diperdebatkan mana yang benar atau yang tidak shahih. Kalau ada 2 pendapat yang berbeda dalam ilmu fiqih, bukan berarti ada satu pendapat yang benar dan pendapat lainnya yang salah. Yang mengetahui kebenaran hanya Allah saja, semua pendapat dari para ulama ahli ijtihad tentu ada alasannya dan tentu saja kita tidak boleh menyalahkan pendapat lain yang kita tidak mempraktekannya.

Begitu juga halnya   shalat witir dengan qunut dan yang tidak pakai qunut, itu semua ada dalil-dalil ilmu yang shahih. Berikut ini Kami kemukakan beberapa pendapat tentang qunut dalam shalat witir.

Pendapat Ulama Malikiyyah (Mazhab Maliki)
Pendapat mashyur adalah qunut pada shalat witir itu makruh, karena tidak ada ketetapan sunnah yang menerangkan tentang qunut shalat witir. Namun sebagian pendapat Malikiyyah lainnya mensunatkan witir pada bulan Ramadhan saja.

Pendapat Ulama Syafiiyyah (Mazhab Syafi'i)  
Pendapat yang masyhur dari mazhab ini adalah qunut witir itu sunat dijalankan pada separuh akhir dari bulan Ramadahan saja yakni mulai dari malam ke 16. Sebagai referensi, keterangannya bisa Anda lihat dalam kitab Al Mughni 1 : 180, Al Mushannaf 3 : 121, Al Istidzkar 5 : 166,  Majmu' Imam Nawawi 4 : 15 dan Mizan Kubraa 1 : 183).  Namun ada pula sebagian ulama Syafiiyyah yang menetapkan witir pada keseluruhan Ramadhan.

Ulama Hanafiyyah (Mazhab Hanafi) dan Mazhab Hambali
Qunut witir itu sunat dikerjakan pada tiap waktu sepanjang tahun, bukan hanya Ramadahan saja. Referensinya lihat kitab Mughni 1 : 180, Bada-i'u Shanaa'i 1 : 273, Majmu 4 : 15,  Al Inshaaf Mardawii 2 : 270 dan  dan Mizan Kubraa 1 : 184. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian kecil ulama Syafi'iyyah.

Hukum Zakat Fitrah

Di bulan Ramadlan ini, ada satu amalan lagi yang bisanya dilakukan oleh umat Islam di dunia yaitu zakat fitrah, yakni zakat kebutuhan pokok masing-masing muslim yang mampu yang diberikan kepada mustahiq zakat.  Biasanya umat muslim di Indonesia, dalam pemberian zakat fitrah, ada yang dikolektifkan oleh panitia zakat fitrah, ada juga yang sendiri langsung diberikan kepada mustahiqnya. Itu, tak jadi soal, yang penting ada niat dari pemberi zakat fitrah.

Para Imam yang empat sepakat bahwa hukum zakat fitrah adalah wajib bagi setiap umat  Islam yang mampu. Begitu pula, bagi yang terkenai kewajiban zakat fitrah, wajib juga untuk menzakatkan anak anaknya, istrinya, orang tuanya yang tidak mampu  dan abid/hamba sahaya. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkahinya,  pada malam dan siang hari 'ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini, berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fitrah, jika sebaliknya maka dia tidak diwajibkan membayar zakat fitrah.

Adapun jumlah zakat yang dibayarkan tiap individu adalah 1 sho dari makanan pokok sehari-hari, yakni sekitar 2,4 - 2,7 kg beras. Ini menurut pendapat 3 Imam mazhab, terkecuali Imam Hanafi
Lalu kapan waktunya kita membayar zakat fitrah ? Dalam mazhab Imam Syafi'i, batasan waktu mengeluarkan zakat adalah sejak tanggal 1 Ramadhan sampai dengan 1 Syawal. Tidak boleh keluar dari waktu tersebut, jika keluar dari waktu tersebut,  maka termasuk sedekah biasa. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hambali, zakat fitrah hanya diberikan pada waktu wajib yakni antara setelah terbenamnya matahari malam ied sampai sebelum terbenamnya matahari pada hari ied. Berbeda lagi menurut pandangan Abu Hanifah/mazhab Hanafi, beliau memperbolehkan membayar zakat fitrah  sebelum Ramadlan/akhir Sya'ban.

Salah satu hikmah diwajibkannya zakat fitrah, terutama bagi mereka yang berpuasa adalah untuk membersihkan/menambal amaliah puasanya  dari amaliah yang dianggap kurang baik, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan selama bulan Ramadlan.
 

Keutamaan Ilmu Agama

1- Yang paling takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).
Para ulama berkata,
من كان بالله اعرف كان لله اخوف
Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.
2- Keutamaan menuntut ilmu sudah tercakup dalam hadits berikut.
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »
Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم الملائكة وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به ومشروط بحصوله
Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).
3- Orang yang dipahamkan agama, itulah yang dikehendaki kebaikan.
Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037). Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.
4- Akan hidup terus setelah matinya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)
5- Ilmu menghidupkan hati sebagaimana hujan menyuburkan tanah.
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu”. An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya”.
Imam Nawawi –rahimahullah- mengatakan,
“Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15: 47-48)
Semoga Allah beri hidayah untuk terus menempuh jalan meraih ilmu bermanfaat.